Oleh : Rastono Sumardi
Disebuah lapangan kecil di Desa Beringin Jaya, para anak-anak berkumpul untuk bermain sepak Bola sore itu. Toni, Bahrun, Suto, dan Eka juga ikut. Meski lapangannya tidak rata dan penuh dengan batu, semangat mereka untuk bermain bola tak terbendung.
“Baiklah, teman-teman,” seru Toni yang selalu menjadi kapten tim. “Hari ini kita serius bermain. Tidak ada yang main curang, ya!”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Suto mengangkat tangan. “Toni, aku nggak bisa curang. Kalau aku lari terlalu cepat, nanti sandal jepitku putus.”
Semua tertawa, termasuk Eka. “Suto, pakai sepatu dong, biar nggak khawatir putus!”
“Sepatu? Aku pakai sepatu cuma waktu kondangan, Ka. Lagian, sandal jepitku ini legendaris. Nendang bola aja dia nggak pernah protes,” jawab Suto sambil tersenyum.
Permainan pun dimulai. Bahrun menjadi kiper, meskipun badannya kecil. Eka, satu-satunya perempuan, bermain sebagai gelandang tengah. Toni, tentu saja, adalah penyerang andalan.
Ketika permainan berjalan seru, Suto, yang menjaga lini belakang, tiba-tiba berhenti berlari dan berteriak, “Tunggu! Ada batu besar di sini. Aku hampir jatuh!”
“Angkat batunya, Suto!” teriak Toni sambil terus menggiring bola.
Suto membungkuk, mengangkat batu itu, dan malah duduk memegang batu sambil berkata, “Kalau batunya seberat ini, aku lebih baik main catur saja.”
Semua yang mendengar langsung terbahak. Eka mencoba melanjutkan permainan, tapi malah terpeleset karena menghindari batu kecil lain. “Aduh! Kenapa lapangan ini penuh rintangan, sih?” keluhnya sambil bangkit berdiri.
“Itu strategi alam, Ka,” jawab Suto. “Supaya kita jadi pemain yang serba bisa, nggak cuma di lapangan bagus.”
Pada satu momen, Toni berhasil mencetak gol spektakuler. Bola melesat melewati Bahrun, yang hanya bisa mematung di depan gawang. Bahrun segera protes, “Hei! Aku kiper, bukan patung pancuran! Kalau bolanya setinggi itu, aku perlu tangga!”
Eka tertawa sambil berkata, “Mungkin Bahrun perlu jadi kiper profesional. Tapi gajinya dibayar pakai tahu dari toko ayahnya!”
Permainan terus berjalan, dengan gelak tawa lebih banyak daripada gol yang tercipta. Hingga akhirnya Suto kembali membuat ulah. Saat Toni memberikan umpan ke arahnya, Suto malah menendang angin.
“Eh, kok bolanya nggak ada?” tanya Suto bingung.
“Bola ada di belakangmu, To!” seru Toni sambil menunjuk.
“Kenapa nggak bilang dari tadi?” jawab Suto, lalu mengejar bola dengan gaya yang lebih mirip ayam dikejar angin.
Permainan pun berakhir dengan tawa dan kebahagiaan. Meski tak ada piala, bagi anak-anak Desa Beringin Jaya, bermain bola adalah hiburan sejati di tengah kesederhanaan hidup mereka.