Oleh : Rastono Sumardi
Ketua Persatuan Guru NU Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah
Pernahkah Anda berpikir bahwa di balik canda tawa dan hiruk pikuk jam istirahat, ada anak yang berjalan menunduk, menahan sesak di dada? Perundungan atau bullying bukanlah sekadar lelucon atau “kenakalan biasa.” Ia adalah luka tak kasat mata yang menggerogoti mental anak-anak kita, meninggalkan jejak trauma yang bisa bertahan seumur hidup.
Sudah saatnya kita berhenti menganggapnya sepele. Mari kita bedah masalah ini, dari data yang menampar hingga solusi konkret yang bisa kita terapkan bersama.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukan Angka Biasa: Potret Muram Perundungan di Indonesia
Mari kita jujur, data tidak pernah bohong. Angka-angka ini adalah cerminan dari penderitaan nyata yang terjadi di balik gerbang sekolah.
1) Peringkat Dunia yang Merisaukan: Studi internasional PISA menunjukkan fakta mengejutkan: 41% siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Angka ini menempatkan kita di jajaran atas negara dengan kasus bullying yang tinggi. Ini bukan prestasi, ini alarm bahaya.
2) Laporan yang Terus Berdatangan: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setiap tahunnya dibanjiri laporan kasus kekerasan di sekolah. Jenisnya pun beragam, mulai dari pukulan yang meninggalkan lebam, ejekan nama orang tua yang merendahkan, hingga pengucilan sosial yang membuat seorang anak merasa tak terlihat.
3) Ancaman di Ujung Jari: Jangan lupakan cyberbullying. Ancaman, fitnah, dan pelecehan kini bisa mengikuti anak hingga ke dalam kamar tidurnya melalui layar ponsel, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Angka-angka ini bukan statistik dingin. Itu adalah representasi dari anak kita, tetangga kita, atau bahkan keponakan kita yang mungkin sedang berjuang dalam diam.
Luka di Tiga Sisi: Korban, Pelaku, dan Penonton
Untuk memahami bullying, kita harus melihat dampaknya pada semua yang terlibat. Ini adalah drama menyakitkan dengan tiga peran utama.
a) Bagi Si Korban: Bekas Luka yang Abadi
Mereka tidak hanya terluka secara fisik. Yang lebih parah adalah hancurnya rasa percaya diri, munculnya kecemasan kronis, depresi, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu berubah menjadi medan horor. Mereka kehilangan minat belajar, sulit tidur, dan sering sakit tanpa sebab medis yang jelas.
b) Bagi Si Pelaku: Teriakan Minta Tolong yang Salah Arah
Jangan terburu-buru melabeli pelaku sebagai “monster.” Sering kali, perilaku mereka adalah cerminan dari masalah yang lebih dalam. Mungkin mereka meniru kekerasan di rumah, kurangnya empati, atau bahkan pernah menjadi korban. Tanpa bantuan, mereka berisiko tumbuh menjadi pribadi antisosial yang sulit beradaptasi di masyarakat.
c) Bagi Si Penonton (Bystander): Mayoritas yang Membisu
Ini adalah kelompok terbesar. Mereka yang melihat, mendengar, tapi memilih diam karena takut atau tidak peduli. Sikap membisu ini, secara tidak langsung, memberikan panggung bagi pelaku. Para penonton pun ikut terluka; mereka diliputi rasa bersalah dan belajar bahwa menindas adalah hal yang wajar.
Stop Tambal Sulam! Ini Solusi Modern untuk Akar Masalah
Menghukum pelaku hingga dikeluarkan dari sekolah tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Itu hanya memindahkan masalah ke tempat lain. Pendidikan modern menuntut solusi yang lebih cerdas dan manusiawi.
1. Bangun Hati, Bukan Hanya Otak: Kuatkan Kecerdasan Emosi
Sekolah harus menjadi tempat anak belajar empati. Ajak mereka merasakan apa yang orang lain rasakan. Latih mereka mengelola amarah, kecewa, dan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Program seperti Keadilan Restoratif (mempertemukan pelaku dan korban untuk saling memahami dan memaafkan) jauh lebih efektif daripada sekadar skorsing.
2. Jadikan Sekolah Benteng Aman: Ciptakan Budaya Anti-Perundungan
Kebijakan anti-bullying tidak boleh hanya jadi pajangan di dinding. Harus ada aturan yang jelas, tegas, dan diketahui semua orang, mulai dari siswa, guru, hingga petugas kebersihan. Guru harus dilatih untuk peka mengenali tanda-tanda bullying dan berani turun tangan. Libatkan orang tua, karena pendidikan karakter terbaik dimulai dari rumah.
3. Ubah Penonton Menjadi Pahlawan (Upstander)
Ini adalah kunci perubahan terbesar. Ajari mayoritas yang diam untuk berani bertindak dengan cara yang aman. Tidak harus dengan berkelahi. Cukup dengan:
a) Mengajak korban pergi dari situasi tersebut.
b) Mengalihkan perhatian pelaku.
c) Melaporkan kepada guru yang mereka percaya.
Satu tindakan kecil dari seorang penonton bisa menghentikan sebuah siklus penderitaan.
Tugas Kita Bersama: Wujudkan Sekolah yang Manusiawi
Menghentikan perundungan adalah tanggung jawab kolektif. Ini adalah tugas orang tua untuk mendidik dengan kasih sayang, tugas guru untuk menciptakan ruang kelas yang aman, dan tugas kita semua sebagai masyarakat untuk tidak pernah lagi menormalisasi kekerasan dalam bentuk apa pun.
Mari bergandengan tangan untuk memastikan lorong-lorong sekolah hanya diisi oleh gema tawa dan semangat belajar, bukan lagi gema tangis anak-anak yang terluka. (*)















