Oleh : Rastono Sumardi
Ketua Satupena Sulawesi Tengah
Dunia maya Indonesia tak pernah sepi dari perdebatan. Salah satu nama yang konsisten memantik diskusi panas, lengkap dengan kubu pro dan kontra, adalah Purbaya. Setiap kali ia melontarkan pernyataan, linimasa seakan terbelah. Fenomena ini semakin menjadi sorotan sejak ia menduduki kursi Menteri Keuangan, membawa sebuah gaya komunikasi yang ‘meledak-ledak’ dan gagasan yang kerap menerabas pakem ke jantung kebijakan fiskal negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak yang mencoba menganalisis pola pikirnya, seringkali mengaitkannya dengan latar belakang pendidikannya yang unik: dari teknik nuklir beralih ke ilmu ekonomi. Transisi ini bukan sekadar catatan akademis, melainkan seolah menjadi cetak biru dari cara ia berpikir dan berkomunikasi. Mari kita bedah dengan santai tapi berbobot, apa yang sebenarnya membuat sosok Purbaya ini begitu polaritatif.
Gaya Komunikasi: To the Point atau Kurang Empati?
Salah satu ciri khas Purbaya adalah gaya bicaranya yang langsung ke sasaran (to the point). Ia tidak ragu menggunakan data dan logika sebagai senjata utama, menyajikannya dengan lugas dan tegas. Bagi para pendukungnya, ini adalah sebuah kesegaran. Di tengah riuhnya pejabat publik yang sering berbicara normatif, gaya Purbaya dianggap transparan dan efisien. Ia seolah memangkas ‘birokrasi verbal’ dan langsung menyajikan inti persoalan. Gaya ini mencerminkan pola pikir seorang insinyur: ada masalah, ini datanya, dan ini solusinya.
Namun, di sinilah letak sisi lainnya. Ekonomi bukanlah sekadar angka dan grafik; ia menyangkut hajat hidup dan sentimen manusia. Gaya komunikasi yang sama, oleh para kritikus, dianggap kaku, kurang berempati, dan terkadang terkesan arogan. Analogi-analogi keras yang ia gunakan, meskipun efektif, bisa dirasa menyederhanakan masalah secara berlebihan atau menyinggung kelompok tertentu.
Substansi Gagasan & Contoh Kebijakan
Sejak dilantik, gaya dan substansi Purbaya tidak berubah, justru semakin terlihat jelas. Beberapa pernyataan dan gebrakan awalnya langsung menjadi sorotan:
1. Rasionalisasi Subsidi Energi: Salah satu pernyataan pertamanya yang menggegerkan adalah, “Data menunjukkan 70% subsidi BBM dinikmati oleh orang yang punya mobil. Ini tidak adil. Anggaran ini akan kita potong secara bertahap dan dialihkan langsung ke keluarga miskin by name by address. Mungkin pahit sekarang, tapi ini obat untuk kesehatan fiskal jangka panjang.” Pernyataan ini menunjukkan gaya komunikasinya yang blak-blakan dan fokus pada efisiensi data, meskipun berisiko sangat tidak populer.
2. Optimalisasi Utang Produktif: Menanggapi kekhawatiran soal utang negara, ia dengan lugas menyatakan, “Saya tidak alergi dengan utang, selama itu untuk membangun jalan tol, pelabuhan, atau SDM. Utang itu seperti leverage di perusahaan. Yang penting return on investment-nya positif untuk negara. Kita akan terus berhitung, bukan baper (bawa perasaan).” Analogi ini memperlihatkan cara pandangnya yang teknokratis, melihat APBN layaknya neraca korporasi.
3. Digitalisasi Pajak: Gebrakannya yang paling konkret adalah mempercepat integrasi data perpajakan. Ia sering mengulang, “Era kucing-kucingan dengan pajak harus berakhir. Dengan integrasi data NIK dan perbankan, kita akan tahu siapa yang belanja barang mewah tapi lapor pajaknya nihil. Ini bukan soal menaikkan tarif, tapi menegakkan aturan main.” Langkah ini dipuji karena berpotensi meningkatkan tax ratio, namun juga dikritik karena dianggap mengancam privasi data.
Contoh-contoh ini menjadi bukti nyata bagaimana latar belakang dan cara berpikirnya diterjemahkan menjadi kebijakan. Bagi pendukungnya, ini adalah langkah efisiensi yang berani. Bagi pengkritiknya, ini adalah pendekatan “robotik” yang mengabaikan dampak sosial jangka pendek dari sebuah kebijakan.
Sebuah Sintesis
Pada akhirnya, Purbaya adalah sebuah paket lengkap dari pro dan kontranya. Kekuatan utamanya—pendekatan yang logis, berbasis data, dan tanpa basa-basi—sekaligus menjadi titik lemahnya di mata sebagian publik. Ia membawa warna baru yang memaksa semua pihak untuk melihat pengelolaan ekonomi dari sudut pandang yang berbeda, lebih terukur dan efisien.
Terlepas dari apakah kita setuju atau tidak, kehadirannya berhasil memprovokasi perdebatan yang sehat, dan itu adalah bahan bakar utama bagi kemajuan sebuah bangsa. Pertanyaannya bukan lagi tentang apakah gayanya benar atau salah, melainkan: bagaimana publik bisa mengambil sari pati terbaik dari pemikirannya, sambil tetap memberikan masukan kritis agar kebijakan yang lahir menjadi lebih membumi dan inklusif.
Luwuk, 15/10/2025















