Penulis : Rastono Sumardi
Di sore yang cerah di Desa Beringin Jaya, Toni, Bahrun, Suto, dan Eka memutuskan untuk bermain layang-layang di sebuah lapangan kosong. Layangan mereka terbuat dari bambu tipis dan kertas minyak, hasil karya tangan masing-masing.
Toni, sebagai pemimpin kelompok, memulai dengan gagah. “Oke, teman-teman, kita lihat siapa yang bisa menerbangkan layangan paling tinggi!” serunya dengan penuh semangat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Suto mengangkat layangannya, yang dihias dengan gambar ayam. “Aku yakin layanganku bakal terbang tinggi. Ayam ini sudah terlatih terbang!” katanya dengan bangga.
Eka tertawa. “Suto, ayam itu nggak terbang, mereka cuma lompat tinggi. Layanganmu bisa-bisa ikut lompat saja, tuh!”
Bahrun, yang sibuk menggulung benang layangannya, menyela. “Sudah, sudah. Daripada banyak ngomong, kita terbangkan dulu. Yang kalah nanti traktir es kelapa di warung Pak Somad!”
Kompetisi dimulai. Toni berhasil menerbangkan layangannya dengan mulus. Layangannya melambung tinggi, membuat semua terkagum. “Lihat! Aku juara!” katanya penuh percaya diri.
Namun, Suto mulai panik. Layangannya malah meluncur ke bawah, seperti burung kelelahan. “Hei! Kenapa ayamku mau mendarat?” teriaknya sambil menarik benang.
“Karena ayammu lapar, Suto!” Bahrun mengejek sambil tertawa.
Sementara itu, layangan Eka mulai bermasalah. Benangnya kusut di tengah jalan. Eka mencoba melepaskannya, tapi malah membuat benang itu semakin kusut. “Toni, tolong! Layanganku nyangkut di diriku sendiri!”
Toni tertawa sambil mendekati Eka. “Eka, kau berbakat jadi benang berjalan, bukan penerbang layang-layang.”
Bahrun, di sisi lain, asyik dengan layangannya yang ternyata terbang cukup stabil. Namun, tiba-tiba angin kencang datang. Layangannya tersangkut di pohon besar di tepi lapangan. Bahrun memegang kepalanya. “Astaga! Itu layanganku, satu-satunya! Kalau aku nggak dapat, es kelapa batal!”
Suto, yang penuh inisiatif, langsung berlari ke pohon itu. “Tenang, Bahrun! Aku akan menyelamatkan layanganmu!” katanya dengan penuh heroisme.
Namun, baru tiga langkah memanjat, Suto tergelincir dan jatuh ke semak-semak. “Aduh! Kenapa pohon ini licin? Apa pohonnya nggak setuju aku memanjat?”
Eka tertawa sampai terpingkal-pingkal. “Suto, mungkin pohonnya tahu kamu sering bohongin ayam!”
Akhirnya, layangan Bahrun berhasil turun dengan bantuan Toni yang lebih tenang memanjat. Mereka semua duduk di rerumputan, menghela napas sambil tertawa mengingat semua kejadian.
“Jadi,” kata Eka sambil tersenyum lebar, “siapa yang traktir es kelapa?”
Semua menoleh ke Suto, yang masih sibuk mengelap daun-daun dari bajunya. “Kenapa aku?” tanyanya bingung.
“Karena layangan ayammu nggak pernah terbang tinggi!” jawab mereka serentak sambil tertawa.
Meski tak ada pemenang sejati, mereka tetap menikmati momen penuh tawa itu. Bagi mereka, kebahagiaan sore itu lebih berharga daripada sekadar menang.