Kita Perlu Menulis Kembali Sejarah Penamaan Bolaang
Oleh : Subagio Manggopa
Sebuah Peta yang di arsipkan oleh Leupe di tahun 1925 merupakan peta milik VOC dari perusahaan ”Van Keulen” yang di sebut sebagai ”Atlas De Haan” di buat oleh Joan Bleau sekitar antara tahun 1621-1831.
Dari Peta ini, para penggiat sejarah tak pelak mengkait-kaitkan eksistensi kerajaan Bolaang sudah ada sejak dulu. Hal ini juga diperkuat oleh dokumen-dokumen tua milik para pelaut Eropa baik Spanyol maupun Portugis, kerajaan ini di sebut sebagai Rey de Boulan atau kerajaan Bolaang.
Bahkan disebutkan juga, Ibukota kerajaan sering berpindah-pindah sesuai tempat berdiamnya Raja seperti: di Dumoga, Lombagin, Bolaang, Manado, Tonsea, Kotobangon dan lain lain. Dari sejumlah tempat yang pernah menjadi ibukota kerajaan itu, menariknya nama Bolaang tetap melekat, disebut: kerajaan Bolaang.
Berbagai versi penamaan Bolaang pun terus muncul dan kerap menjadi perdebatan. Salah satu yang popular – umum menjadi pengetahuan masyarakat Bolaang Mongondow Raya hingga kini adalah nama Bolaang itu berasal dari kata “bolango” atau “balangon” yang berarti laut. Bolaang atau “golaang” dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap.
Chairun Mokoginta dalam perspektif morfologi dan sintaksis bahasa Mongondow, Bolaang berasal dari kata Mongondow purba, yakni; Boya.’ Kata ini berevolusi bola’ mendapat akhiran ‘Ang’ yang berarti tanah yang luas. Kata yang lain; Goya atau Gola’ mendapat akhiran ‘Ang’ yang berarti berjauhan atau jarang. Bahasa Mongondow Purba menurutnya banyak digunakan pada abad ke-13 M, bahkan jauh sebelum eranya Punu’ Mokodoludut (1400 – 1460 M).
Versi lainnya Bolaang yang juga berasal dari Bahasa Mongondow Puba (kuno) yang saya peroleh dari salah satu penggiat sejarah agak berbeda dengan pendapatnya Chairun Mokoginta.
Menurutnya, Bolaang maknanya: ‘peca’ atau pecahan. Tentu dari dua pendapat ini kendati ada kemiripan makna kata ‘jarang’ dengan ‘pecah,’ akan tetapi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kita akan menemukan pemahaman yang berbeda.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pecah memiliki pengertian: terbelah menjadi beberapa bagian. Sedangkan jarang memiliki arti renggang atau lebar jaraknya.
Dari dua kata ini, maka kita tidak bisa mengkonklusi bahwa bahwa ‘jarang’ sama dengan ‘pecah.’ Kalau pun kita “paksa” relasikan kedua kata itu, maka tentu ada peristiwa yang terjadi kaitannya ‘penamaan Bolaang.’
Apalagi, kedua sumber ini berasal dari Bahasa Mongondow purba yang saat ini sebagian besar etnik Mongondow modern tak mengetahuinya lagi – tak terkecuali saya dengan segala keterbatasan Bahasa Mongondow – tentu saya juga tak terlalu meyakini terkecuali ada sumber yang jelas dan akurat untuk menjelaskan hal tersebut.
Dalam tradisi lisan masyarakat Bolaang, adapula versi lainnya ihwal penamaan Bolaang. Mungkin agak mencengangkan mendengarnya, namun sebagian besar para tetuah masyarakat Bolaang meyakini penamaan Bolaang dengan versi mereka sendiri.
Maka dari beragama versi-versi tersebut, tak ada pilihan bagi kita, khususnya etnik Mongondow selain memverifikasi dan merumuskan kembali penamaan Bolaang. Sebab, selama ini kita diberikan informasi yang beragam tentang penamaan Bolaang. Dan sampai kapan pun generasi kita berikutnya akan terus disodorkan dengan keragu-raguan dan ketidaktahuan tentang sejarah penamaan Bolaang.
Seorang Jan Vansina saja, bisa menemukan jejak peradaban di Afrika berbekal tradisi lisan, apalagi kita yang memiliki banyak referensi, literatur dan kearifan local yang bisa dijadikan sebagai sumber untuk memperkaya kembali kesejarahan kita, wabil khusus tentang Penamaan Bolaang. Wallahualam Biswahab