BANGGAI, SUARAUTARA.COM – Polemik baru muncul usai pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang diselenggarakan pada 5 April 2025 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. PSU ini merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 171/PHPU.BUP-VIII/2024, dan dilakukan di dua kecamatan, yakni Toili dan Simpang Raya.
Namun, pelaksanaan PSU yang semestinya menyelesaikan persoalan pilkada justru memunculkan wacana baru: kemungkinan dilaksanakannya “PSU di atas PSU”, atau PSU ulang terhadap PSU yang sudah dilaksanakan. Hal ini mencuat dari kekhawatiran masyarakat akan dugaan pelanggaran baru yang mungkin terjadi selama pelaksanaan ulang tersebut.
Tiga lembaga utama berperan penting dalam dinamika ini :
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mahkamah Konstitusi sebagai pemutus akhir sengketa hasil pilkada, KPU sebagai pelaksana teknis PSU, dan
Bawaslu sebagai pengawas pelaksanaan pemilu.
Meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, pelanggaran yang terjadi setelah PSU bisa menjadi alasan evaluasi ulang. Bila ditemukan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) atau manipulasi administratif yang memengaruhi hasil, maka menurut Pasal 112 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU No. 19 Tahun 2020, PSU dapat dilakukan kembali.
Hal ini menandai bahwa finalitas putusan MK tidak serta-merta menutup ruang perbaikan, jika ada pelanggaran baru yang muncul. Demokrasi tidak hanya menuntut prosedur, tapi juga keadilan substantif. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga integritas, keabsahan, dan legitimasi hasil pemilu.
Jika ditemukan pelanggaran baru pasca-PSU, maka bukan MK, melainkan Bawaslu dan KPU yang akan menilai serta mengambil langkah administratif untuk memastikan proses demokrasi tetap bersih dan adil. Publik kini menanti ketegasan dari penyelenggara pemilu untuk menjawab keresahan tersebut.
Penulis : Rastono Sumardi Koordinator Satupena Sulawesi Tengah.
(Editor : Dewi Qomariah )