Kritik Sejarah ‘ PENAMAAN BOLAANG ’
Oleh: Subagio Manggopa [ Penulis adalah Alumnus Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosisal Universitas Negeri Manado, Aktivis KPMIBM dan HMI Cabang Tondano]
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sejarah itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia. Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia di masa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti” (W.H. Walsh)
Akhirnya, kesempatan menulis pun tiba. Setelah beberapa kesibukan yang cukup padat dan menyita waktu – malam ini saya punya kesempatan untuk bisa menulis lagi. Beberapa kisah yang inspiratif memang harus dituangkan lewat tulisan. Apalagi kisah itu sangat menarik dan bernilai sejarah.
Beruntung: pada minggu yang lalu, saya bisa bertemu dengan teman-teman dari PS2BMR (Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya). Melalui pertemuan itu, saya pun mendapat pengalaman dan pengetahuan baru tentang sejarah Bolaang Mongondow – terutama sekali sejarah ‘Penamaan’ Bolaang. Selama ini, saya yang merupakan ‘orang Bolaang’ awalnya meyakini asal-usul penamaan Bolaang berasal dari Bahasa Cina. Cerita ini berkembang melalui penuturan (O’uman) para tetuah di Bolaang.
Konon, saat Cina datang di Bolaang sekitar tahun 1556 – wilayah di pesisir pantai tidak berpenghuni. Karena umumnya masyarakat Bolaang tinggal di pedalaman-pedalaman. Melihat kondisi ini, mereka keheranan dan menyebutnya Bolang atau Bo’Olang. Kendati pada akhirnya hal ini perlu ‘dikritisi’ lagi, karena ketika mereka menelusuri Bolaang dan masuk ke wilayah pedalaman, mereka melihat ternyata Bolaang telah dihuni oleh kelompok-kelompok orang atau masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Membincangi nama Bolaang, memang ada beberapa versi mengenai asal-usul penamaan Bolaang. Tetapi alangkah baiknya, untuk mengungkap fakta sejarah itu harus dibuktikan berdasarkan prinsip-prinsip metodologi sejarah. Mengapa demikian? Karena sejarah merupakan sebuah ilmu. Sehingga, harus dibuktikan kebenarannya secara ilmiah berdasarkan dokumen-dokumen sejarah.
Dengan demikian, dokumen-dokumen sejarah berfungsi sebagai sumber primer dan menjadi bahan penting dalam metodologi sejarah. Beda halnya, kalau arsip atau dokumen-dokumen sejarah itu tidak ada sama sekali. Maka, tradisi lisan bisa dijadikan sumber sejarah untuk mengungkap fakta-fakta sejarah.
Seperti-halnya yang telah dilakukan oleh Jan Vansina, seorang sejarawan dan antropolog Belgia. Dia mengalami kesulitan untuk menemukan dokumen yang bisa mendukung penulisan sejarah masyarakat yang ada di Afrika Selatan. Sehingga, tradisi lisan salah satu sumber yang ia gunakan untuk menemukan jejak peradaban di Afrika.
Mengenai penamaan Bolaang, kali ini saya ‘sangat’ sependapat dengan teman-teman dari PS2BMR dan tokoh Budayawan Bolaang Mongondow; Chairun Mokoginta. Di mana, menurut Chairun Mokoginta dalam percakapan saya dengan beliau melalui via telepon mengatakan: bahwa dalam perspektif morfologi dan sintaksis bahasa Mongondow, Bolaang berasal dari kata Mongondow purba, yakni; Boya.’ Kata ini berevolusi bola’ mendapat akhiran ‘Ang’ yang berarti tanah yang luas. Kata yang lain; Goya atau Gola’ mendapat akhiran ‘Ang’ yang berarti berjauhan atau jarang. Bahasa Mongondow Purba menurut Chairun Mokoginta banyak digunakan pada abad ke-13 M. Itu artinya, bahwa nama Bolaang sudah ada jauh sebelum eranya Punu’ Mokodoludut (1400 – 1460 M).
Nama Bolaang juga, menurut teman-teman PS2BMR sudah masyhur pada abad ke-15 sampai abad ke-18 M. Hal ini dapat dibuktikan beberapa dokumen-dokumen tua; bangsa Portugis, Spanyol maupun Belanda. Pendapat ini senada dengan tulisannya Patra Mokoginta menjelaskan bahwa penamaan Bolaang yang sempat tercatat dalam dokumen tua tersebut diantaranya:
Bullar atau Bolao. Tercatat dalam Buku Documenta Malucensia ( edited and annotated by Hubert Jacobs ). Jacobs memastikan bahwa nama Bular atau Bolao (dibaca Bo-lang) mengacu ke nama Bolaang.
Bolanium. Nama Bolanium terdapat dalam surat surat Jesuit Maluku untuk FR General Dieogo Lainez di Roma bertanggal 16 Februari 1554 sebagaimana termuat dalam buku Documenta Malucensia ( edited and annotated by Hubert Jacobs ). Jacobs memastikan bahwa Bolanium atau Bolanos adalah sebutan untuk Bolaang.
Bolan. Nama Bolan terdapat dalam Buku Documenta Malucensia ( edited and annotated by Hubert Jacobs ). Jacobs memastikan juga bahwa nama Bolan adalah sebutan untuk Bolaang.
Boulon. Dalam Peta karya Jacques Nicholas Bellin yang terbit tahun 1775, Bolaang di gambarkan sebagai nama kerajaan “Rey De Boulan ” atau Kerajaan Bulan. Kerajaan Boulan memiliki Negeri utama yang masuk dalam wilayahnya yakni Caidupa (Kaidipang ), Manado dan bahkan Gorontane ( Gorontalo). Peta ini walau terbit nanti tahun 1775 tapi sebenarnya menggambarkan kekuasaan Raja Raja sebelum abad 18.
Boelan. Nama Boelan ( di baca Bulan) terdapat dalam buku Oud en Neuw oost-Indien karya Valentyn. Boelan di sebutkan dalam buku ini sebagai nama Kerajaan yang wilayahnya membentang luas dari Manado dan sekitarnya hingga daerah Bolaang Mongondow. Selain nama kerajaan, Boelan juga nama dari negeri di pesisir pantai yang menjadi salah satu tempat tinggal Raja Boelan. Daerah ini sekarang berada pada Desa Bolaang dan sekitarnya di Kabupaten Bolaang Mongondow sekarang ini.
Boelang. Nama Boelang ( di baca Bulang) terdapat di berbagai dokumen belanda akhir abad 17 hingga abad 18. salah satunya dapat di lihat dalam catatan Padtbrugges’s dalam buku Het Journaal van Padtbrugges Reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden. Dalam Buku Journal ini Boelang di catat sebagai nama geografis daerah yang bernama Bolaang sekarang hingga nama kerajaan ( Koning van Boelang).
Ringkasnya, jika melihat beberapa dokumen-dokumen tua serta penuturan tersebut di atas, maka kata Bolaang dalam hal penyebutan maupun ejaannya berbeda-beda. Penamaan Bolaang sudah ada. Dan bahkan sudah berabad-abad tahun lamanya, jauh sebelum bangsa ‘Arab, Cina, Portugis, Spanyol maupun Belanda’ menginjakkan kakinya di Bolaang.
Akhirnya, saya mengutip kalimatnya dari sesepuh kita, Aki Chairun Mokoginta; “Setiap kata tidak hadir di ruang hampa, karena setiap kata ada makna. Dan para leluhur memberikan nama karena ada maknanya.” Salam: Motabatu molintak kon lipu’.*
*Penulis Adalah Penikmat Sejarah dari Bolaang