Pilkada Sehat Tanpa Money Politics
Penulis: Rahma Ayu Arief
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (UNG)
SUARAUTARA.COM, BOLMONG – Pilkada, singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, adalah sebuah proses demokratis yang berlangsung di Indonesia. Dalam proses ini, pemilih secara langsung memilih kepala daerah seperti gubernur, bupati, atau wali kota, beserta wakilnya. Lebih dari sekadar sebuah rutinitas politik, Pilkada merupakan panggung krusial bagi demokrasi di Indonesia. Setiap pemilih memiliki suara yang sama dalam menentukan masa depan pemerintahan daerah mereka. Pilkada memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang dianggap mewakili dan mengurus kepentingan mereka di tingkat lokal, sekaligus memperkuat prinsip pemerintahan yang berdasarkan pada kehendak rakyat.
Pilkada memberikan peluang kepada warga negara untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan politik, menetapkan arah kebijakan negara, dan memilih pemimpin yang mewakili kepentingan mereka. Dalam setiap fase pemilihan umum, praktik politik uang atau money politics sering kali menjadi ancaman serius bagi integritas proses demokrasi. Praktik tersebut mencakup pemberian uang, barang, atau jasa sebagai imbalan untuk mendapatkan dukungan politik, suara, atau keuntungan lainnya.
Praktik politik uang, seperti yang kita ketahui, sering kali terjadi menjelang pemilu maupun pilkada. Telah umum diketahui bahwa uang merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk memperoleh dukungan suara dengan memberikan sejumlah uang kepada masyarakat.
Salah satu alasan politik uang masih kerap terjadi adalah ketika peran partai politik terabaikan, yang mengakibatkan lemahnya struktur kelembagaan partai politik. Keadaan ekonomi dan tingkat kemiskinan juga menjadi penyebab utama kelanjutan praktik politik uang, terutama ketika mempertimbangkan realitas sosial bahwa kemiskinan sering dimanfaatkan oleh para oknum politik untuk melakukan pembelian suara. Masyarakat yang berada dalam kondisi ekonomi rendah seringkali dimanfaatkan sebagai objek eksploitasi dalam kepentingan politik oleh oknum politik dan partai.
Adapun dampak yang bisa ditimbulkan terhadap praktik money politics yakni terhambatnya perubahan atau transformasi masyarakat. Proses perubahan atau transformasi suatu masyarakat menuju arah yang lebih positif akan mengalami kesulitan apabila sistem demokrasi selalu dikuasai oleh praktik politik uang. Tak hanya itu, potensi akan terjadinya korupsi juga bisa terjadi. Dengan adanya praktik politik uang, biaya politik yang harus ditanggung oleh para kandidat saat pemilihan akan meningkat secara signifikan. Hal ini akan menjadi beban yang berat bagi para kandidat yang ikut serta dalam kontes pemilihan, dan ketika mereka terpilih dan menduduki jabatan, mereka akan terbebani oleh masalah individu terkait pengembalian modal politik yang telah dikeluarkan dengan secepat mungkin, jauh sebelum masa jabatan mereka berakhir.
Praktik money politics telah menjadi penyakit serius yang mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan untuk memberlakukan sanksi pidana hanya kepada pemberi money politics. Dengan demikian, diharapkan bahwa masyarakat tidak akan takut lagi untuk melaporkan praktik money politics yang dilakukan oleh calon legislatif maupun partai politik, sehingga dapat memutus mata rantai hubungan saling menguntungkan yang terjadi. Jika kebijakan ini diterapkan, ada harapan bahwa praktik money politics akan berkurang secara signifikan karena para pelaku akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan tersebut, mengingat mereka dapat dilaporkan oleh pihak yang menerima uang tersebut.
Mengatasi politik uang dapat dimulai dengan menghapus akarnya, yaitu dengan mengidentifikasi penyebab utama dan kondisi yang memungkinkan praktik tersebut berkembang pesat, serta merancang strategi teknis untuk mengatasi masalah tersebut. Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko money politics dan pentingnya partisipasi politik yang bersih. Diperlukan kampanye informasi yang luas untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dampak buruk money politics terhadap demokrasi. Selain itu, kerja sama antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan media sangat diperlukan untuk melawan praktik politik uang. Media harus aktif dalam mengungkap praktik money politics dan memberikan liputan yang adil kepada semua kandidat.
Untuk mengurangi praktik money politics dalam Pilkada di Indonesia seperti yang disarankan sebelumnya, perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan dalam bidang Pilkada harus dilakukan. Selain itu, partai politik perlu mengembangkan strategi baru untuk mendekati pemilih agar hubungan antara partai politik dan rakyat semakin kuat, sehingga pada saat pemilihan umum, masyarakat akan memilih secara sadar tanpa harus diberi imbalan uang atau barang tertentu. Pemerintah juga perlu mengutamakan upaya pemberantasan kemiskinan karena praktik money politics sering kali berpusat di kalangan masyarakat yang belum sejahtera.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menetapkan sanksi yang signifikan bagi mereka yang terlibat dalam praktik politik uang selama periode kampanye dan proses pemungutan suara.
Pasal 515 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta.”
Pasal 523 Ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah).”
Ayat (2) berbunyi: “Setiap pelaksana, peserta dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah).”
Ayat (3) berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah.
Dalam politik, dibutuhkan individu yang bermoral, memiliki keahlian yang unggul, dan juga memiliki daya saing yang kuat. Kebaikan dalam ranah politik harus didorong hingga menjadi bagian dari kebijakan negara. Nilai-nilai hanya akan bermakna jika diterapkan dalam praktek sehari-hari. Nilai-nilai yang tidak diimplementasikan hanya akan menjadi abstrak dan tidak memberikan dampak nyata pada kehidupan masyarakat. (*).