SUARAUTARA. com, KOTAMOBAGU – Rumah Tahanan (Rutan) Negara Kelas II B Kotamobagu kembali menjadi sorotan publik. Selain mengalami kelebihan kapasitas, sejumlah sumber menyebutkan adanya dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum pegawai rutan melalui penyediaan layanan telepon berbayar bagi para narapidana.
Informasi yang dihimpun media menyebutkan, di dalam Rutan Kotamobagu telah disediakan sekitar 10 unit telepon genggam berbagai merek yang bisa digunakan oleh narapidana untuk berkomunikasi dengan keluarga. Setiap penggunaan berdurasi 5 menit dikenakan biaya Rp10.000, layaknya sistem warung telekomunikasi (wartel).
Salah satu narapidana yang enggan disebut namanya mengungkapkan, pendapatan dari “bisnis telepon” ini mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Setiap hari banyak napi antre ingin menelpon keluarga. Satu telepon bisa menghasilkan sekitar Rp60 ribu per jam. Kalau dikalikan 10 handphone dan digunakan 24 jam, bisa mencapai sekitar Rp2 juta per hari atau Rp60 juta per bulan,” ungkap sumber tersebut.
Jumlah narapidana di Rutan Kelas II B Kotamobagu saat ini tercatat mencapai 450 orang, padahal kapasitas ideal hanya untuk 149 orang. Kondisi ini diduga dimanfaatkan oknum pegawai untuk melakukan praktik ilegal dengan dalih penyediaan fasilitas komunikasi.
Lebih lanjut, sumber itu menuturkan bahwa Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan (KKPR) Kotamobagu, Djhony Tumangken, diduga mengetahui aktivitas ini.
“Setiap selesai menelpon, pegawai rutan memeriksa durasi panggilan di handphone, lalu napi membayar sesuai lamanya waktu,” jelasnya.
Kasus dugaan “bisnis telepon” ini menambah daftar panjang persoalan di Rutan Kotamobagu. Sebelumnya, rutan ini juga dihebohkan dengan kabar tiga narapidana yang bebas keluar dari tahanan meski sedang menjalani masa hukuman berbeda, masing-masing 10 tahun, 8 tahun, dan 11 tahun.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Sulawesi Utara, Tonny Nainggolan, Bc.Ip., S.H., M.H., saat berkunjung ke Rutan Kotamobagu pada Jumat (3/10/2025) mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti laporan tersebut.
“Kami akan memastikan kembali prosedurnya dan menelusuri setiap tahapan yang terjadi,” ujar Tonny.
Sementara itu, Kepala Rutan Kotamobagu, Aris Yuliyanta, A.Md.IP., S.H., M.H., melalui Humas Rutan Ilham Lahiya, membenarkan adanya layanan wartel di dalam rutan.
“Benar, ada wartel di rutan. Tarif 5 menit Rp10.000. Namun biaya itu dikembalikan lagi kepada mereka dalam bentuk pembelian pulsa data. Pembuatan wartel ini berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 8 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban pada Satuan Kerja Pemasyarakatan,” jelas Ilham.
Namun pernyataan tersebut justru memantik kritik dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Wartawan Independen Indonesia (AWII). Ketua AWII, Achmad Sujana, menilai praktik tersebut berpotensi melanggar aturan.
“Belum usai masalah napi yang bebas keluar, kini muncul lagi bisnis telepon di rutan. Ini jelas merusak citra lembaga pemasyarakatan. Kami menduga KKPR mengetahui hal ini. Jika benar, sebaiknya dicopot dari jabatannya,” tegas Sujana.
Ia juga mengingatkan bahwa larangan penggunaan handphone oleh narapidana sudah diatur dalam Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan.
“Permenkumham Nomor 8 Tahun 2024 memang mengatur aspek keamanan dan ketertiban, termasuk komunikasi, tapi bukan untuk dijadikan ladang bisnis. Kalau memang tujuannya memfasilitasi komunikasi, kenapa tidak pasang WiFi saja?,” ujarnya kritis.
Sujana juga meminta Inspektorat Jenderal Kemenkumham untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan keuangan, perlengkapan, dan penggunaan fasilitas di Rutan Kelas II B Kotamobagu.
“Audit ini penting untuk memastikan tata kelola keuangan dan operasional rutan berjalan bersih, transparan, dan sesuai prosedur. Jangan sampai ada praktik pungli yang justru mencoreng nama baik Kemenkumham,” tandasnya.
Kasus ini kini tengah menjadi sorotan publik dan diharapkan dapat segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan dapat kembali pulih.















