BolmongOpiniTopik Utama

Sisi Lain ” DUMOGA”

Oleh : Kalvin Karanda, S.IP

(Aktivis Pemuda Bolaang  Mongondow)

Tak lepas dari pemberitaan media yang beredar akhir-akhir ini perihal konflik antar kampung yang terjadi di beberapa desa yang ada di Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. saya merasa terpanggil untuk menulias  artikel tentang Sisi Lain Dumoga.

Ketika kita menyebut nama Dumoga, maka yang terlintas dalam benak kita saat ini yaitu perselisihan antar kampung (tarkam) yang sudah sering terjadi. Bahkan ada stigma yang sedang tren saat ini menganggap bahwa dumoga merupakan desa shinobi ( sebuah istilah dalam anime jepang yaitu Naruto, yang berarti ninja) sebagaimana dalam cerita anime tersebut, shinobi adalah kelompok yang selalu siap berperang saat desa mereka sedang dalam masalah.

Sangat disayangkan jika stigma seperti ini terus berkembang dan menjadi konsumsi publik di dunia maya maupun dunia nyata yang bisa mempengaruhi pola pikir masyarakat dan generasi mudanya. seakan-akan dalam penyelesaian masalah, pertumpahan darah adalah jalan satu-satunya. Hal tersebut sangatlah kompleks dengan karakteristik masyarakat dumoga yang dikenal temperamental dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi.

Oleh karena itu, masalah-masalah sepele seperti bersenggolan di pesta, suara motor yang keras ketika melintas di desa tetangga, saling ejek antar anak muda, kalah dalam sebuah pertandingan, dan permaslahan yang lainya bisa menjadi pemicu terjadinya konflik atau perselisihan antar kampung.

Konflik antar kampung di dumoga adalah sebuah fenomena konflik dengan nuansa yang unik, karena sering melibatkan dari kelompok etnis dan agama yang sama, bahkan tak jarang memiliki ikatan kekerabatan yang relatif dekat. Konflik antar kampung yang sering terjadi kebanyakan dipicu oleh masalah sepele yang bersifat personal lalu berubah menjadi lebih komunal dengan menonjolkan identitas pembeda berdasarkan batas wilayah sehingga berubah menjadi konflik antar kampung.

Dikenal sebagai penghasil komoditas sumber daya alam berupa padi dan emas, dengan Nilai ekonomis dan permintaan pasar yang tinggi, membuat semakin maraknya aktivitas peladangan di kawasan hutan seperti perkebunan, persawahan, perburuan dan penambangan emas di kawasan dumoga. Hal tersebut menjadikan daerah ini sebagai kawasan perebutan sumber daya alam yang memicu perselisihan antar pencari nafkah yang kemudian terbawah sampai ke kampung-kampung yang ada di Dumoga.

Namun demikian konflik antar kampung ini tidak bisa hanya dilihat dari pemicu antar konfliknya saja, pada beberapa desa yang berkonflik, memiliki sejarah konflik yang panjang dan dapat ditelusuri beragam masalah yang sudah kadung menjadi akar konflik yang sulit dilepaskan dari entitas tersebut. Perselisihan turun temurun melanggengkan pertikaian denngan alasan harga diri dan kehormatan kampung, di mana anak-anak muda diceritakan hal-hal heroik pertengkaran orang tua mereka dengan desa tetangga.

Terlepas dari berbagai persoalan konflik sosial yang sering terjadi di Dumoga, perlu di ketahui bahwa, daerah ini merupakan daerah yang multi etnik, karena wilayah ini menjadi sasaran lokasi migran dari daerah Minahasa, jawa, bali, bugis, dan sangihe. bahkan hampir setiap desa bisa mewakili etnis maupun agama tertentu, tetapi ada juga beberapa desa yang didiami oleh dua bahkan tiga kelompok etnis dan agama yang berbeda.

Dalam kondisi seperti ini, bisa saja dumoga menjadi wilayah yang sangat senisitif akan konflik yang bernuansa SARA. Kerusuhan ambon pada tahun 2000-an merupakan konflik antar suku yang sama namun agama yang berbeda, kemudian kerusahan sambas, konflik antar suku yang berbeda namun agama yang sama. Dumoga potensi konfliknya justru lebih besar, sudah beda suku, beda agama pula. Akan Tetapi, sangat jarang kita mendengar konflik yang terjadi menyangkut suku dan agama, padahal dengan identitas masyarakat yang sangat beragam pemicu konflik komunal sangat mudah terjadi, layaknya beberapa daerah yang ada di Indonesia.

Inilah Sisi Lain dari dumoga, Kita semua harus sadar bahwa meskipun mereka banyak berinteraksi dengan suku dan agama yang berbeda, namun perbedaan tersebut tidak menjadi masalah karena mereka masih menerima keberagaman. Keberagaman tersebut bisa menjadikan Dumoga sebagai miniatur bangsa Indonesia bahkan utopia dunia yang terwujud dari Tanah Totabuan.

Maka dari itu. Semua pihak harus berjibaku menjadikan dumoga tak hanya lumbung pangan, namun juga lumbung toleransi dan simbolisasi kerukunan. Hilangkan semua stigma, pandangan, bahkan kebiasaan buruk yang bisa mempengaruhi pola pikir masyarakat agar bisa terhindar dari permasalahan konflik sosial. Selain itu, dibutuhkan upaya rekonsiliasi serta penegakan hukum baik secara adat maupun negara.

Keberagaman dumoga ,dan warna-warninya seharusnya bisa menjadi pelangi yang hadir sehabis hujan. Bukan bara dalam sekam, yang bisa berkobar kapan saja jika di siram bensin oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Damai selalu Dumoga,

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button