Hizbut Tahir Indonesia (HTI) dan Bukti Kecolongan Pemerintah Provinsi Gorontalo
Penulis Alkaf Prayoga
(Mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo)
SUARAUTARA.COM, Kota Gorontalo– Gorontalo dalam sejarah panjangnya sejak tahun 1525 M saat Sultan Amai menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan, itu menyandingkan Islam dan adat serta kebudayaan yang telah lebih dulu hadir.
Kita dapat melihat dari bagaimana sejarah menuliskan di masa kepemimpinan Amai falsafah Gorontalo mempersandingkan agama dan adat “Syara’a topa-topango to adati.” Kemudian, falsafah itu berubah di masa kepemimpinan Motodulakiki menjadi “Syara’a hula-hula’a to adati, adati hula-hula’a to syara’a”. Terakhir, disempurnakan oleh Eyato saat menjadi raja yang hingga kini menjadi falsafah hidup masyarakat Gorontalo. “Adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to Kitabullah”, (Adat bersendikan syariat, dan syariat berlandaskan Kitabullah).
Begitu pula bagaimana terekam jelas oleh sejarah seperti apa keteguhan sikap para pendiri bangsa di awal-awal kemerdekaan Indonesia yang memiliki beragam alasan kuat disetiap argumen mereka saat berdebat terkait agama. Cukup alot, dan tentunya terjadi banyak silang pendapat di antara mereka.
Istimewanya, bukannya memperkeruh keadaan melainkan menghasilkan kompromi untuk bisa saling menerima. Para The Founding Father tidak lagi memperdebatkan tentang visi agama mana atau orang yang beragama apa yang paling benar. Lebih dari itu, para The Fouding Father kita berdebat tentang bagaimana manusia, kemanusiaan mendapatkan haknya beragama, dan agama mendapatkan tempat untuk dihormati dalam konstitusi kita. Maka, bukan hanya manusia yang diberi hak memeluk agamanya –termasuk terkait mendirikan organsiasi keagamaan selama tidak bertentangan dengan Dasar Negara Repulik Indonesia—, tetapi juga agama mendapatkan tempat agar dihormati.*
Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang cukup istimewa dalam sejarah panjang Indonesia. Bangsa ini merupakan bangsa yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi, tidak pernah terkait dengan yang namanya kekhilafahan atau negara Islam. Olehnya, penolakan pendirian negara Islam baik sekarang ataupun di masa lalu oleh para pendiri bangsa tidak lain karena ingin mempertahankan identitas bangsa dengan kemurnian sejarah panjang peradabannya.
Namun, di sisi lain Islam dan para penganutnya tetap diberikan ruang dalam membentuk dan mempengaruhi adat istiadat serta kebudayaan yang telah lebih dulu hadir di Indonesia.
Terkait ke-Indonesia-an kita yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dengan Pancasila sebagai Dasar Negara, tentunya masih kita ingat di beberapa tahun silam, tepat pada tanggal 19 Juli 2017, pemerintah pusat dengan tegas membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia dengan mencabut status badan hukum organisasi kemasyarakatan tersebut.
Keputusan ini diambil karena HTI dinilai tidak menjalankan asas, ciri, dan sifat ormas yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), khususnya dalam hal “tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”. HTI secara terang-terangan mendakwahkan doktrin negara berdasarkan kekhilafahan, yang jelas-jelas bertentangan dengan dasar negara kita, Pancasila.
Memang, gerakah khilafah yang digaungkan baik secara pemikiran dan tindakan oleh HTI bukan lagi menjadi fenomena baru. Sebagai varian konservatif dan ekstrim fundamental, itu telah menjelaskan bahwa HTI dengan segala bentuk gerakannya tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan pemberontakan yang pernah tercatat dalam sejarah Islam. Olehnya, negara telah mengambil keputusan tepat dengan menjadikannya sebagai organisasi terlarang. Namun, melihat fenomena yang belum lama terjadi di Gorontalo, di mana HTI kembali menunjukkan eksistensinya dan dengan berani melakukan aksi-aksi menuntut pendirian khilafah, menjadi pertanyaan besar tentang seberapa serius Pemprov Gorontalo dalam menegakkan keputusan Pemerintah Pusat? Bagaimana bisa organisasi yang sudah dilarang secara hukum masih bisa beroperasi dan bahkan melakukan mobilisasi massa?
Dengan demikian, tidak ada kata yang lebih tepat selain “kecolongan” untuk menggambarkan situasi yang terjadi di Provinsi Gorontalo saat ini. Munculnya kembali organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di tengah-tengah keramaian dengan segala kegigihan kadernya yang melakukan aksi bela Palestina di Bundaran Telaga adalah bukti nyata dari kelalaian Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam menjaga keamanan dan stabilitas ideologi di Gorontalo.
Pastinya, ini menjadi tamparan keras bagi Pemprov Gorontalo. Kegagalan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok yang jelas-jelas bertentangan dengan ideologi negara. Tidak hanya mencoreng wajah pemerintah daerah, tetapi juga memberikan angin segar bagi kelompok-kelompok radikal untuk terus bergerak dan menyebarkan paham yang bertenta.
Pemprov Gorontalo harus segera mengambil langkah tegas dan nyata untuk membasmi akar pergerakan HTI di wilayahnya. Penegakan hukum harus diperkuat, dan koordinasi dengan aparat keamanan harus ditingkatkan. Jangan sampai kejadian ini terulang kembali, karena setiap kecolongan akan membuka peluang bagi organisasi-organisasi radikal untuk semakin berkembang dan merusak tatanan masyarakat yang sudah kita bangun dengan susah payah.
Ideologi keamanan adalah tanggung jawab kita Bersama. Namun, Pemprov Gorontalo sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah harus menunjukkan komitmennya yang kuat dalam menjaga dan melindungi Pancasila dari ancaman-ancaman yang datang dari kelompok-kelompok radikal. Jangan sampai Gorontalo menjadi contoh buruk bagaimana ketidakadilan dan ketidakseriusan dalam penegakan hukum dapat membuka pintu bagi ideologi-ideologi yang dibandingkan dengan dasar negara.
Kemunculan HTI tentunya menjadi PR besar bagi Pemerintah kita yang harus segera diselesaikan. Jangan lagi ada kecolongan, jangan lagi ada kompromi terhadap kelompok-kelompok yang jelas-jelas merongrong ideologi negara kita. Pancasila adalah harga mati, dan tidak ada tempat bagi ideologi lain yang ingin merusak persatuan dan kesatuan bangsa. “Atau, jangan-jangan mereka sengaja dipelihara oleh para pemangku kuasa?” Wallahu A’alam