SUARAUTARA. Com, LUWUK – Ketika janji pembangunan hanya tinggal kata, air mata menjadi saksi paling jujur dari penderitaan rakyat kecil. Melalui cerpen berjudul “Mata Air, Air Mata”, penulis muda Herdiyanto Yusuf menghadirkan kisah menyentuh tentang perjuangan seorang ibu di Desa Hondo yang melawan ketidakadilan dengan ember air keruh di tangannya.
Cerpen ini tayang di portal Banggai Kreatif melalui tautan https://banggaikreatif.com/blog/blog.php?id=Y3crNy91U0pmNW5FUGVEcGxNNHpVZz09.
Potret Ketimpangan di Tengah Janji Pembangunan
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lewat narasi yang sederhana namun tajam, Herdiyanto menggambarkan realitas pahit masyarakat desa yang selama bertahun-tahun menanti hadirnya air bersih dari proyek pembangunan pemerintah. Namun, yang datang bukan air jernih, melainkan aliran keruh yang penuh kecewa.
Tokoh utama, Susi, menjadi simbol keteguhan seorang ibu yang kehilangan suami dan anak akibat air tercemar. Dalam cerita, ia berdiri menentang ketidakadilan dengan membawa ember berisi air keruh — lambang penderitaan sekaligus keberanian rakyat kecil menuntut hak dasar mereka.
Kritik Sosial Melalui Sastra
Mata Air, Air Mata bukan sekadar kisah duka, tetapi juga kritik sosial yang kuat terhadap gagalnya kebijakan pembangunan di daerah pedesaan. Melalui bahasa yang puitis dan penuh emosi, Herdiyanto mengajak pembaca merenungkan makna kemajuan: apakah sekadar proyek fisik, atau tentang bagaimana manusia bisa hidup lebih layak.
“Ketika janji pembangunan menguap, hanya air mata yang tersisa,” tulis Herdiyanto dalam pembuka cerpennya — kalimat yang kini ramai dibagikan di media sosial karena dinilai relevan dengan situasi nyata di banyak wilayah.
Tentang Penulis
Herdiyanto Yusuf dikenal sebagai salah satu penulis kreatif yang aktif di komunitas sastra Banggai. Karyanya banyak menyoroti kehidupan masyarakat pesisir dan pedalaman dengan pendekatan humanis serta gaya bertutur yang kuat secara emosional.