Oleh Rastono Sumardi
(Pengurus Satupena Sulawesi Tengah)
Langit Balaga sore itu tampak tenang, tapi di balik warna jingga yang indah, tersembunyi kisah kelam yang mengoyak nurani.
Aku Laras Ayuningrum, seorang aktivis perlindungan anak dari Lembaga Harapan Balaga. Selama lima tahun aku mendampingi korban kekerasan, tapi tidak ada kasus yang menghantam jiwaku seperti kisah seorang anak bernama Mira.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Semua berawal dari surat tulisan tangan seorang guru di dusun Balaga Timur. Surat itu sederhana, tapi membuat jantungku berhenti sejenak:
“Ada anak perempuan yang sering menangis di kelas. Tubuhnya penuh luka, dan aku mencurigai sesuatu yang sangat salah terjadi di rumahnya.”
Aku membaca surat itu berulang kali, merasa dada sesak. Bersama Petra, petugas dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), kami berangkat sore itu juga.
Rumah panggung yang kami tuju berdiri di tepi pantai, terpencil dan berbau amis. Di depan rumah, seorang perempuan menjemur pakaian. Wajahnya dingin, matanya penuh curiga. Ia adalah Sani, ibu kandung Mira.
Di tangga rumah duduk seorang pria bertubuh besar — Darto, adik iparnya Sani. Di tangan Darto, ada amplop lusuh. Aku tahu, instingku benar.
Ketika kami mendekat, dari dalam rumah terdengar suara lirih seorang anak. Aku mendekat ke jendela. Di dalam, seorang pria paruh baya sedang mengenakan baju, dan di sudut kamar, Mira meringkuk menangis.
Darahku mendidih. “BUKA PINTUNYA!” teriak Petra. Polisi yang kami bawa segera menerobos masuk. Darto mencoba melawan, tapi cepat ditangkap. Sani menjerit, tapi jeritannya bukan karena penyesalan — melainkan karena sumber uangnya direnggut.
Aku berlari ke dalam dan menemukan Mira di bawah meja. Tubuhnya gemetar, bajunya kusut, wajahnya memar.
“Sayang, aku Laras. Kamu aman sekarang,” bisikku pelan.
Ia menatapku kosong, lalu berbisik nyaris tak terdengar:
“Ibu suruh aku… kalau aku nolak, aku dikurung… sama paman juga.”
Aku menahan napas. Dunia seolah runtuh di depan mata.
Malam itu, Mira dibawa ke rumah aman. Aku duduk di kantor DP3A menulis laporan, sementara dr. Ratna, psikolog anak, memeriksa kondisi Mira. Hasilnya membuat semua orang terpukul: luka fisik, trauma mendalam, dan gejala PTSD berat.
“Dia tidak hanya disakiti,” kata dr. Ratna lirih, “tapi kehilangan arti kata ibu. Kita harus mulai dari nol — dari rasa aman.”
Aku hanya mengangguk, menatap langit malam Balaga yang tanpa bintang. Dalam hati, aku bersumpah: tidak ada satu pun yang akan lolos dari hukum.
Sidang digelar seminggu kemudian. Balai Pengadilan Negeri penuh sesak. Sani duduk di kursi terdakwa bersama Darto dan dua lelaki hidung belang yang membeli “layanan” Mira.
Aku dipanggil sebagai saksi ahli hukum dan psikologi anak. Hakim memandangku tegas. Aku berdiri, menggenggam berkas.
“Yang Mulia,” kataku dengan suara tenang tapi bergetar, “saya ingin menjelaskan mengapa tindakan para terdakwa adalah kejahatan berat, tanpa ruang pembelaan.”
Semua mata tertuju padaku. Aku menatap langsung ke arah Sani.
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 81 dan 82, jelas menyebut: pelaku kekerasan atau eksploitasi seksual terhadap anak dapat dihukum maksimal 15 tahun penjara, ditambah sepertiga jika pelaku adalah orang tua kandung.”
Aku berhenti sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara.
“Artinya, tidak ada kemiskinan, tekanan, atau alasan ekonomi yang bisa dijadikan pembenaran. Ibu yang menjual anaknya sendiri telah melanggar batas kemanusiaan paling dasar.”
Suara penonton mulai berbisik, sebagian menitikkan air mata. Aku melanjutkan dengan berkas lain.
“Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS juga menegaskan bahwa eksploitasi seksual anak adalah kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Negara wajib memberi restitusi dan pemulihan psikologis kepada korban, bukan sekadar menghukum pelaku.”
Aku menatap layar di pojok ruangan, tempat Mira duduk di ruangan terpisah bersama dr. Ratna. Ia mendengarkan dengan mata sembab.
“Secara psikologis,” lanjutku, “Mira mengalami trauma kompleks (Complex PTSD). Ia takut dengan suara langkah kaki, takut disentuh, takut tidur. Ia kehilangan rasa percaya terhadap figur ibu. Trauma ini bisa bertahan bertahun-tahun jika tidak ditangani. Karena itu, terapi jangka panjang, dukungan sosial, dan lingkungan aman mutlak diperlukan.”
Aku menarik napas, menahan emosi.
“Hukum bukan hanya alat menghukum pelaku, tapi cara kita mengembalikan kemanusiaan yang dirampas. Jika hari ini kita gagal menegakkan keadilan, maka kita telah mengizinkan kekerasan menjadi tradisi.”
Ruang sidang hening. Hakim menatapku dalam-dalam. “Saudari Laras,” katanya pelan, “keterangan Anda bukan sekadar analisis hukum, tapi juga suara hati nurani bangsa.”
Aku menunduk. Di kursi terdakwa, Sani menggigit bibir, menunduk — tapi bukan karena penyesalan, melainkan karena sadar tak ada lagi tempat bersembunyi dari kebenaran.
Palu diketuk.
Hukuman maksimal dijatuhkan kepada seluruh pelaku.
Mira kini tinggal di rumah aman, mengikuti terapi dan sekolah jarak jauh. Ia masih pemalu, tapi sesekali tersenyum kecil padaku. Suatu sore, ia menyerahkan sebuah buku catatan.
“Aku ingin langit Balaga tetap biru,” tulisnya di sana.
“Aku ingin anak-anak lain tidak takut malam.”
Aku membaca kalimat itu dengan mata basah.
Kini, setiap kali aku menatap langit senja Balaga, aku tahu: warnanya mungkin kembali tenang, tapi itu lahir dari air mata seorang anak yang berani hidup lagi.
Aku percaya, selama masih ada orang yang mau berdiri untuk anak-anak seperti Mira, langit Balaga akan tetap biru — tak peduli seberapa hitam masa lalunya.
Luwuk, 8/10/2025