Satu Tamparan di Sekolah: Hukuman atau Kejahatan? Membedah Dilema Pendidikan Kita

Selasa, 14 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto : Ilustrasi

Foto : Ilustrasi

Oleh : Rastono Sumardi, S.Pd,ME

(Ketua PERGUNU Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah)

Sebuah tamparan mendarat di pipi seorang siswa. Kejadian ini bukan di film, tapi di halaman sekolah di Lebak. Seorang kepala sekolah, yang lelah melihat pelanggaran berulang, kehilangan kendali saat menghadapi siswa kelas XII yang merokok dan berbohong. Seketika, insiden ini meledak. Laporan polisi, demo siswa, dan perang opini di media sosial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Publik terbelah. Sebagian membela sang guru, menyebutnya sebagai wujud disiplin tegas yang kini hilang. Sebagian lain mengecamnya sebagai tindak kekerasan yang tak bisa dibenarkan.

Lalu, siapa yang sebenarnya salah? Apakah ini sekadar masalah “guru galak” dan “murid bandel”? Mari kita bedah lebih dalam, karena insiden ini adalah cermin dari masalah yang jauh lebih besar dalam dunia pendidikan kita.

Di Balik Amarah Sang Pendidik: Puncak Gunung Es Frustrasi

Mari sejenak kita berada di posisi kepala sekolah. Bayangkan Anda bertanggung jawab atas ratusan remaja dengan segala dinamikanya. Setiap hari Anda berusaha menanamkan nilai dan aturan, namun yang Anda hadapi adalah pengabaian, pembangkangan, bahkan kebohongan terang-terangan.

Tindakan menampar itu, meskipun salah, kemungkinan besar bukanlah agresi yang direncanakan. Itu adalah ledakan emosi dari akumulasi stres dan kelelahan mental (burnout) yang luar biasa. Ini adalah sinyal bahaya bahwa banyak pendidik kita yang berjuang sendirian di garis depan tanpa dukungan kesehatan mental yang memadai.

Niatnya jelas untuk mendisiplinkan. Namun, dalam dunia pendidikan modern, tujuan yang baik tidak bisa menghalalkan cara yang salah. Menggunakan kekerasan, bahkan “hanya” sebuah tamparan, justru mengajarkan pelajaran yang keliru: bahwa kekuasaan dan kekerasan adalah solusi saat kita frustrasi.

Di Sisi Sang Siswa: Hak Anak dan Luka yang Tak Terlihat

Sekarang, mari kita lihat dari sudut pandang siswa. Ya, dia jelas bersalah karena melanggar aturan sekolah: merokok dan berbohong. Perilaku ini tidak bisa dibenarkan dan perlu ditindak.

Namun, statusnya sebagai pelajar dan anak di bawah umur memberinya hak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia sangat jelas: tidak ada toleransi bagi kekerasan fisik di lingkungan pendidikan, apa pun alasannya.

Bagi seorang remaja, hukuman fisik bukan hanya meninggalkan bekas di pipi, tapi juga luka yang lebih dalam pada harga diri dan psikologisnya. Dipermalukan di depan umum dapat memicu trauma, kebencian, dan justru memperkuat sikap anti-otoritas, bukan menumbuhkan penyesalan. Melaporkan ke polisi adalah hak hukumnya sebagai warga negara yang merasa menjadi korban kekerasan.

Ketika Aturan Bicara: Garis Tegas Antara Disiplin dan Pidana

Dalam kasus ini, hukum berbicara paling lantang dan tegas.

  • Secara Hukum: Menampar anak adalah bentuk kekerasan fisik. Niat “mendidik” tidak bisa menjadi alasan pembenar di mata hukum pidana. Garisnya sangat jelas.
  • Secara Pedagogis: Disiplin bertujuan untuk mengubah perilaku melalui kesadaran. Kekerasan hanya menciptakan kepatuhan sesaat karena rasa takut, bukan karena pemahaman.

Ini adalah “tamparan” keras bagi dunia pendidikan kita.

Bahwa metode-metode disiplin warisan masa lalu yang melibatkan kontak fisik sudah tidak lagi relevan dan sangat berisiko secara hukum. Sekolah harus beralih total ke disiplin positif: pendekatan yang fokus pada konsekuensi logis, dialog, dan membangun tanggung jawab dari dalam diri siswa.

Bukan Salah Siapa, Tapi Salah Apa? Mencari Akar Masalah

Menyalahkan kepala sekolah sepenuhnya adalah tindakan yang tidak bijak. Menyalahkan siswa sepenuhnya juga tidak adil. Insiden ini adalah gejala dari “penyakit” yang lebih besar dalam ekosistem pendidikan kita:

  1. Putusnya Kemitraan: Hubungan antara sekolah dan orang tua seringkali renggang. Sekolah dianggap “jasa penitipan”, dan guru menjadi pihak yang selalu disalahkan.
  2. Beban Guru yang Berlebihan: Guru tidak hanya mengajar, tapi juga diharapkan menjadi psikolog, motivator, dan satpam sekaligus, seringkali tanpa pelatihan dan dukungan yang cukup.
  3. Krisis Keteladanan: Siswa meniru apa yang mereka lihat. Ketika masyarakat luas mempertontonkan cara-cara instan dan minim dialog, sulit mengharapkan remaja bersikap sebaliknya.

Jalan Keluar Bersama: Dari Hukuman Menuju Perbaikan

Kasus ini jangan hanya berhenti di ruang pengadilan atau menjadi bahan perdebatan tanpa akhir. Ini harus menjadi momentum untuk perbaikan bersama.

  • Untuk Sekolah: Terapkan konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Fokusnya bukan menghukum pelaku, tetapi memperbaiki kerusakan yang terjadi. Fasilitasi mediasi antara guru, siswa, dan orang tua untuk saling memahami, mengakui kesalahan, dan mencari solusi damai.
  • Untuk Pemerintah: Perkuat sistem dukungan bagi guru. Sediakan pelatihan reguler tentang manajemen emosi, teknik disiplin positif, dan konseling bagi pendidik yang mengalami burnout.
  • Untuk Orang Tua & Masyarakat: Bangun kembali kepercayaan dan kemitraan dengan sekolah. Jadilah mitra dalam mendidik, bukan “hakim” yang menunggu di ujung saat masalah terjadi.

Satu tamparan di Lebak ini sejatinya adalah tamparan bagi kita semua. Sebuah pengingat menyakitkan bahwa ada sesuatu yang perlu segera kita perbaiki bersama dalam cara kita mendidik generasi penerus bangsa. (*)

Berita Terkait

Atasi Pencegahan Krisis Kecemasan Sejarah Budaya, Bima Sakti Peduli Negri, Gelar Lomba Video
Revolusi Senyap APBN 2026: Gempa di Daerah dan Masa Depan Otonomi. Bagian 2 dari 2
Revolusi Senyap APBN 2026: Guncangan Anggaran dan Logika di Balik Sentralisasi (Bagian 1 dari 2)
Ketua Komisi IV DPRD Sulteng Kunjungan ke Banggai Pemerintah Daerah Siap Perkuat Sinergi Bidang Kesra
Generasi Emas 2045: Menempa Manusia Unggul di Tengah Badai Global
Bupati Banggai Tunjuk dr Budiyanto Uda a Sebagai Plt Direktur RSUD Luwuk
Ketika Sekolah Tak Lagi Jadi Pilihan
Kadishub Banggai Farid Hasbullah Karim Dapat Apresiasi dari Wakil Ketua dan Anggota Komisi III DPRD Terkait Capaian Serapan Anggaran 2025

Berita Terkait

Sabtu, 1 November 2025 - 16:09 WITA

Atasi Pencegahan Krisis Kecemasan Sejarah Budaya, Bima Sakti Peduli Negri, Gelar Lomba Video

Sabtu, 1 November 2025 - 05:07 WITA

Revolusi Senyap APBN 2026: Gempa di Daerah dan Masa Depan Otonomi. Bagian 2 dari 2

Sabtu, 1 November 2025 - 04:52 WITA

Revolusi Senyap APBN 2026: Guncangan Anggaran dan Logika di Balik Sentralisasi (Bagian 1 dari 2)

Jumat, 31 Oktober 2025 - 21:30 WITA

Ketua Komisi IV DPRD Sulteng Kunjungan ke Banggai Pemerintah Daerah Siap Perkuat Sinergi Bidang Kesra

Jumat, 31 Oktober 2025 - 16:08 WITA

Generasi Emas 2045: Menempa Manusia Unggul di Tengah Badai Global

Berita Terbaru

Sastra Seni Budaya

Langit di Ujung Dermaga (Cerpen)

Sabtu, 1 Nov 2025 - 00:15 WITA