Hoegeng Iman Santoso (Foto: uniqpost.com)
Oleh : Rastono Sumardi
Ketua Satupena Sulawesi Tengah
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di panggung sejarah Indonesia, nama Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Iman Santoso terukir abadi sebagai simbol integritas dan kejujuran yang langka. Menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 dari tahun 1968 hingga 1971, Hoegeng menjadi anomali di sebuah era ketika korupsi mulai menggurita. Masa jabatannya memang singkat, namun warisan keteladanannya terus bergema, menjadi standar moral yang teramat tinggi bagi institusi kepolisian dan para pejabat publik di Indonesia. Kisah hidupnya bukan sekadar catatan karier, melainkan kumpulan hikayat mengharukan tentang prinsip yang tak bisa ditawar dan keberanian melawan arus kekuasaan.
Menolak Kemewahan Sejak Awal Karier
Prinsip anti-suap dan gratifikasi Hoegeng bukanlah polesan citra saat ia menduduki puncak pimpinan Polri. Integritas itu telah tertanam kuat sejak ia merintis karier sebagai perwira polisi. Sebuah kisah legendaris terjadi pada tahun 1955 saat ia ditugaskan di Medan, Sumatera Utara, dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP). Tugas utamanya adalah memberantas penyelundupan dan perjudian yang merajalela.
Baru saja tiba di Pelabuhan Belawan, ia sudah “disambut” oleh utusan para bandar judi. Mereka menawarkan berbagai fasilitas mewah, termasuk sebuah rumah dan mobil. Hoegeng dengan halus menolaknya dan memilih tinggal di hotel sederhana. Namun, para cukong tak menyerah. Ketika rumah dinasnya siap ditempati, Hoegeng terperanjat mendapati isinya telah penuh dengan perabotan mewah, mulai dari piano, kulkas, hingga sofa mahal.
Tanpa berpikir panjang, Hoegeng memerintahkan ajudan dan kuli angkut untuk mengeluarkan seluruh barang tersebut dan meletakkannya di pinggir jalan depan rumah. Baginya, melanggar sumpah jabatan jauh lebih memalukan daripada terlihat “tidak tahu terima kasih”. Tindakan tegas ini mengirimkan pesan yang jelas kepada para mafia di Medan: Hoegeng tidak bisa dibeli.
Integritas Dimulai dari Lingkungan Terdekat
Keteguhan Hoegeng dalam menjaga integritas juga ia terapkan tanpa kompromi kepada keluarganya sendiri. Salah satu kisah yang paling sering dikutip adalah ketika ia meminta istrinya, Merry Roeslani, untuk menutup toko bunga miliknya. Peristiwa ini terjadi saat Hoegeng dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi pada tahun 1960, sebelum menjabat sebagai Kapolri.
Alasannya sederhana namun mendalam: ia tidak ingin ada konflik kepentingan. Hoegeng khawatir orang-orang yang berurusan dengan kantor imigrasi akan merasa “tidak enak” dan akhirnya memesan bunga dari toko istrinya untuk mencari muka atau memuluskan urusan mereka. Ia memilih memangkas potensi rezeki keluarganya demi menjaga marwah jabatannya. Bagi Hoegeng, jabatan adalah amanah yang harus dijaga dari potensi penyalahgunaan sekecil apa pun.
Keberanian Menghadapi Tembok Kekuasaan
Sebagai Kapolri, Hoegeng dihadapkan pada sejumlah kasus besar yang tidak hanya menguji profesionalisme Polri, tetapi juga keberaniannya dalam berhadapan dengan “orang-orang kuat” di lingkaran kekuasaan Orde Baru.
Kasus Sum Kuning: Ini adalah salah satu kasus paling pelik dan mengharukan yang ditanganinya. Pada tahun 1970, seorang penjual telur dari Godean, Yogyakarta, bernama Sumarijem (dikenal sebagai Sum Kuning), mengaku diperkosa secara bergiliran oleh sekelompok pemuda yang diduga merupakan anak-anak para pejabat teras. Alih-alih mendapatkan keadilan, Sumarijem justru menghadapi rekayasa kasus dan dituduh menyebarkan kabar bohong.
Hoegeng merasakan ada kejanggalan besar dalam penanganan kasus ini di tingkat daerah. Ia membentuk tim khusus untuk mengusut tuntas, namun upayanya terus menerus menemui jalan buntu. Dinding kekuasaan terlalu tebal untuk ditembus. Diduga ada intervensi dari level tertinggi untuk melindungi para pelaku. Meskipun pada akhirnya kasus ini tidak pernah terungkap secara tuntas hingga Hoegeng lengser, kegigihannya membela seorang gadis penjual telur di hadapan ancaman kekuasaan menunjukkan keberpihakannya yang mutlak pada keadilan untuk rakyat kecil.
Kasus Penyelundupan Robby Tjahjadi: Keberanian Hoegeng juga teruji saat ia berusaha membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi oleh Robby Tjahjadi, seorang pengusaha yang memiliki koneksi sangat kuat. Ketika Hoegeng hendak melaporkan kasus ini langsung kepada Presiden Soeharto di kediamannya di Jalan Cendana, sebuah pemandangan membuatnya terpukul. Ia melihat Robby Tjahjadi, orang yang hendak ia laporkan, justru sedang bertamu dan bercengkerama akrab dengan sang presiden.
Seketika Hoegeng memilih untuk pulang tanpa jadi melapor. Ia sadar bahwa upayanya akan sia-sia. Insiden ini menunjukkan betapa kesepiannya Hoegeng dalam perjuangannya menegakkan hukum di tengah sistem yang korup dan kolutif.
Akhir Jabatan dan Warisan Abadi
Masa jabatan Hoegeng sebagai Kapolri berakhir secara prematur pada 2 Oktober 1971. Alasan resmi yang dikemukakan adalah “peremajaan”, sebuah dalih yang terasa janggal karena penggantinya, Jenderal Mohamad Hasan, berusia dua tahun lebih tua darinya. Banyak pihak meyakini bahwa Hoegeng “dipensiunkan” karena integritas dan keberaniannya dianggap mengganggu stabilitas kekuasaan saat itu.
Meskipun tersingkir dari panggung utama, Jenderal Hoegeng tidak pernah kehilangan kehormatannya. Ia memilih menjalani masa pensiun dengan kesederhanaan, jauh dari gemerlap kekayaan yang bisa saja ia raih jika mau berkompromi. Bahkan, ia sempat tidak memiliki rumah pribadi setelah pensiun.
Kisah Jenderal Hoegeng Iman Santoso adalah pengingat yang kuat bahwa kekuasaan dan jabatan hanyalah sementara, tetapi integritas dan nama baik akan dikenang selamanya. Ia membuktikan bahwa menjadi orang baik jauh lebih penting daripada menjadi orang penting. Dalam sebuah lelucon yang dipopulerkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), disebutkan hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Lelucon tersebut, meski getir, adalah pengakuan tertinggi dari masyarakat atas sosok Hoegeng yang keteladanannya tetap menjadi oase yang menyejukkan hingga hari ini. (*)















