Oleh : Rastono Sumardi
Ketua KIM Bonua Sastra Banggai
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sebuah kampung nelayan yang bersembunyi di lekuk pantai Sulawesi, di mana bau garam dan ikan bakar menari abadi di udara, hiduplah seorang bocah lelaki bernama Arman. Baginya, suara paling merdu di dunia bukanlah debur ombak atau nyanyian angin, melainkan deru mesin pesawat yang membelah langit biru. Setiap kali bayangan elang besi itu melintas, Arman akan berhenti, mendongak dengan dada yang bergemuruh, seolah deru itu adalah gema dari mimpinya sendiri.
Ia tumbuh dalam dekapan keluarga yang hangat meski sederhana. Ayahnya, Pak Burhan, seorang pelaut tangguh yang kulitnya telah diukir oleh matahari dan garam. Ibunya, Bu Salma, perempuan dengan senyum seteduh senja yang jemarinya lincah memilah ikan terbaik di pasar desa. Cinta di rumah mereka bukanlah kata-kata, melainkan semangkuk nasi hangat yang selalu tersedia dan usapan lembut di kepala sebelum tidur.
Setiap senja, dermaga kayu tua menjadi panggung mereka. Di sanalah Arman duduk di sisi ayahnya, menatap cakrawala yang meleburkan laut dan langit.
“Langit dan laut itu sama, Nak,” ujar Pak Burhan suatu kali, suaranya serak dan dalam seperti ombak yang pecah di bebatuan. “Keduanya sama-sama luas, sama-sama menyimpan rahasia. Jika kau ingin menaklukkan langit, kau harus belajar membaca arusnya, seperti Ayah membaca arus laut.”
“Aku ingin jadi insinyur, Ayah!” sahut Arman, matanya berbinar memantulkan sisa cahaya mentari. “Aku ingin membangun pesawat yang bisa membawa Ibu ke Mekkah.”
Namun, mimpi setinggi langit seringkali terasa berat saat dipijak di bumi yang keras. Hatinya kadang teriris oleh riak-riak kecil. Sepatu usang yang sama, tas yang warnanya mulai memudar, dan ejekan yang sesekali datang seperti angin asin.
“Man, bajumu itu lagi?” ledek Dika, temannya, suatu pagi di sekolah.
Arman hanya tersenyum. “Baju ini punya cerita,” jawabnya pelan, menyembunyikan luka kecil di hatinya di balik kebanggaan yang ia ciptakan sendiri.
Ijazah sekolah dasar di tangannya terasa seperti tiket pertama menuju cakrawala. Beasiswa membawanya ke SMP di kota kabupaten, dunia yang asing dan riuh. Di sanalah, perpustakaan menjadi samudranya yang baru. Ia tenggelam dalam buku-buku fisika dan teknologi, menelusuri diagram mesin dan prinsip aerodinamika. Rak-rak buku itu adalah kepulauan ilmu yang ia jelajahi tanpa lelah.
Suatu malam, di dapur mereka yang sempit namun wangi oleh aroma bumbu, Bu Salma menatap putranya dengan tatapan penuh harap. “Ilmu itu seperti layar, Nak. Tanpanya, kapalmu hanya akan terombang-ambing. Teruslah belajar, agar angin impianmu bisa mendorongmu jauh.”
“Saya janji, Bu. Pesawat yang akan kubuat nanti harus bisa mendarat di air, untuk membantu nelayan seperti Ayah jika ada badai,” bisik Arman, mimpinya kini memiliki tujuan yang lebih dalam.
Tentu, jalan itu tak pernah mulus. Selalu ada kerikil tajam dari mereka yang tak mengerti.
“Mimpi jadi insinyur? Sadar, Arman! Kita ini anak nelayan, takdir kita di laut, bukan di langit,” cibir Rudi, teman SMA-nya, dengan nada meremehkan.
Arman tidak membalas dengan amarah. Ia membalasnya di dalam hati, dengan kobaran tekad yang semakin membara. Lihat saja nanti. Aku akan menunjukkan padamu luasnya langitku.
Surat penerimaan dari sebuah institut teknologi ternama di Jakarta adalah bukti pertama bahwa semesta mendengar doanya. Ibu kota menyambutnya dengan gemerlap yang menyilaukan sekaligus kebisingan yang memekakkan. Di sini, ia bukan lagi si pintar dari desa; ia adalah satu dari ribuan kunang-kunang yang mencoba bersinar di tengah lautan cahaya.
“Di sini, kecerdasan saja tidak cukup. Kalian butuh daya tahan,” ujar Pak Hartono, dosennya yang berkacamata tebal, pada hari pertama kuliah.
Arman belajar beradaptasi. Siang hari ia adalah mahasiswa yang menyerap ilmu, malam hari ia menjadi penjaga toko kelontong, menukar kantuk dengan lembaran rupiah untuk menyambung hidup. Di kamar kosnya yang sempit, tumpukan buku bersaing dengan tumpukan mimpi.
Suatu malam, saat ia sedang bergelut dengan rumus-rumus termodinamika, ponselnya bergetar. Suara ibunya di seberang terdengar seperti benang yang rapuh.
“Arman… Ayahmu…”
Hanya dua kata itu, namun cukup untuk meruntuhkan seluruh dunia yang sedang ia bangun. Tanpa berpikir dua kali, seluruh tabungannya ia tukar dengan tiket bus tercepat. Perjalanan pulang terasa lebih panjang dari usianya.
Ia menemukan ayahnya terbaring, napasnya dangkal seperti air surut. Tangan kasar yang dulu mengajarinya cara mengikat tali jangkar itu kini terasa rapuh dalam genggamannya.
“Ayah…” hanya itu yang bisa keluar dari bibir Arman.
Pak Burhan tersenyum tipis, matanya yang redup masih menyimpan kilau lautan. “Jangkar… tak selamanya menahan kapal, Nak. Ada saatnya ia harus dilepaskan… agar kapal bisa berlayar… ke tujuannya. Jangan khawatirkan Ayah. Teruslah… berlayar…”
Beberapa hari kemudian, di bawah langit yang kelabu, Pak Burhan berlayar menuju keabadian. Arman merasa dunianya hampa. Motivator terbesarnya, jangkarnya, telah tiada. Di tengah duka yang menghimpit, ia menatap ibunya yang tegar.
“Ayahmu tidak pergi, Arman. Ia hanya pindah, dari dermaga ini, ke dalam hatimu. Sekarang, wujudkan mimpinya yang ada di dalam dirimu,” bisik Bu Salma, menyeka air matanya sendiri.
Duka itu ia ubah menjadi bahan bakar. Ia kembali ke Jakarta dengan semangat yang menyala dua kali lebih kuat. Nilai-nilainya meroket. Ia terlibat dalam setiap proyek riset, namanya mulai dikenal di kalangan dosen. Hingga suatu hari, sebuah kompetisi desain pesawat nirawak tingkat nasional digelar.
“Ini kesempatan kita, Man!” ajak Danu, sahabatnya di kampus.
Mereka bekerja siang dan malam. Kopi dan begadang menjadi sahabat mereka. Arman menuangkan seluruh ilmunya, seluruh kerinduannya pada sang ayah, ke dalam desain sayap yang kokoh dan efisien. Dan mereka menang. Piala itu bukan sekadar logam dingin; itu adalah validasi, sebuah bisikan dari langit bahwa ia berada di jalur yang benar.
Lulus dengan predikat cumlaude membukakan pintu sebuah perusahaan dirgantara multinasional. Mimpi yang dulu hanya sketsa di pasir pantai kini menjadi cetak biru di atas meja kerjanya. Dedikasi dan inovasinya membuatnya cepat bersinar.
Hingga suatu hari yang menentukan, ia dipanggil oleh dewan direksi. Proyek prestisius pembuatan prototipe pesawat komersial generasi baru jatuh ke tangannya sebagai pemimpin tim. Ruangan rapat senyap. Bisik-bisik keraguan terdengar jelas.
“Anda masih sangat muda, Arman. Apakah Anda yakin sanggup memikul tanggung jawab sebesar ini?” tanya kepala divisi, sorot matanya tajam dan skeptis.
Arman menegakkan punggungnya. “Pak, ayah saya seorang nelayan. Beliau mengajari saya bahwa kita tidak akan pernah tahu kekuatan badai jika kita tidak berani mengangkat sauh dan berlayar menghadapinya. Izinkan saya mencoba.”
Bulan-bulan berikutnya adalah pertempuran melawan waktu, fisika, dan batas kemampuannya. Ia memimpin timnya dengan teladan, bukan perintah. Akhirnya, hari itu tiba. Di landasan pacu yang terhampar luas, pesawat hasil karyanya berdiri megah, serupa burung raksasa yang siap mencium awan.
Saat upacara peluncuran, di hadapan para petinggi dan media, Arman berdiri di podium. Namun, matanya tidak menatap kerumunan. Matanya menatap pesawat itu, dan lebih jauh lagi, menatap langit.
“Pesawat ini bukan hanya tumpukan logam dan teknologi,” suaranya bergetar menahan haru. “Ini adalah perwujudan dari doa seorang ibu, kebijaksanaan seorang ayah, dan mimpi seorang anak nelayan. Mari kita terbangkan harapan ini bersama!”
Saat pesawat itu melesat ke angkasa, meninggalkan daratan dengan deru yang gagah, Arman tak kuasa menahan air matanya. Dalam raungan mesin jet, ia seperti mendengar suara ayahnya berbisik, “Lihat, Nak. Langit ternyata tidak ada batasnya.”
Kesuksesan tak membuatnya lupa pada dermaga tempatnya berasal. Bertahun-tahun kemudian, Arman kembali ke desanya. Ia bukan lagi bocah pemimpi, melainkan bukti nyata bahwa mimpi bisa diterbangkan.
Ia berdiri di depan anak-anak sekolah dasar, di ruangan kelas yang sama tempat ia dulu diejek karena bajunya yang usang.
“Lihat ke atas,” katanya sambil menunjuk ke langit melalui jendela. “Langit itu bukan batas, tapi awal dari segalanya. Pendidikan adalah sayap yang akan membawa kalian ke sana. Jangan pernah takut untuk terbang.”
Ia tidak hanya memberi motivasi. Dengan sebagian besar kekayaannya, ia mendirikan sebuah yayasan pendidikan. Membangun perpustakaan yang lebih besar dari impian masa kecilnya, memberikan beasiswa kepada anak-anak nelayan yang cemerlang. Ia sedang membangun “jembatan ke langit” untuk generasi setelahnya.
Terkadang di waktu senja, ia akan kembali ke dermaga kayu yang tua itu. Duduk sendirian, menatap cakrawala yang sama persis seperti puluhan tahun lalu. Laut masih berbisik, angin masih bernyanyi, dan langit masih terbentang luas. Ia tersenyum, merasakan kehadiran ayahnya di setiap desiran ombak dan ibunya dalam kehangatan angin.
Arman telah berhasil menaklukkan langit, namun ia sadar, pencapaian terbesarnya bukanlah pesawat yang ia ciptakan, melainkan harapan yang berhasil ia terbangkan di hati anak-anak di kampung halamannya.(*)















