Urgensi Literasi Keuangan Demi Kesejahteraan Petani

Jumat, 20 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Moh. Khawarizmi Makalalag

Moh. Khawarizmi Makalalag

PENULIS,

Moh. Khawarizmi Makalalag

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jakarta – Kesejahteraan petani seringkali menjadi kontradiksi dalam narasi pertumbuhan ekonomi nasional. Di satu sisi, pertanian dianggap sebagai sektor vital penopang ketahanan pangan dan ekonomi pedesaan, namun di sisi lain para pelakunya justru menduduki posisi paling rentan dalam struktur sosial-ekonomi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 47% rumah tangga petani tergolong ke dalam kelompok miskin atau rentan miskin. Yang lebih ironis, Nilai Tukar Petani (NTP) atau indikator kesejahteraan petani justru terus stagnan bahkan menurun di banyak wilayah. Per Oktober 2023, NTP nasional hanya berada di angka 110,48, yang berarti peningkatan pendapatan petani tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan konsumsi mereka. Masalah ini tidak hanya disebabkan oleh faktor struktural seperti harga komoditas dan akses pasar, tetapi juga oleh rendahnya literasi keuangan yang membuat petani kesulitan mengelola hasil, membuat keputusan ekonomi yang rasional, hingga mengakses sumber permodalan yang sehat.

Literasi keuangan merupakan kemampuan untuk memahami, mengelola, dan mengambil keputusan finansial yang bijak dalam konteks individu maupun usaha. Dalam konteks petani, literasi keuangan bukanlah sekadar mengenai masalah mencatat pemasukan dan pengeluaran, tapi memahami manajemen arus kas, investasi pada input produksi, pemanfaatan jasa keuangan formal, hingga perencanaan jangka panjang usaha tani. Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat literasi keuangan nasional baru mencapai 49,68%, dan pada kelompok masyarakat pedesaan, angkanya lebih rendah lagi. Petani, sebagai kelompok yang sebagian besar tinggal di pedesaan, sangat terdampak oleh kurangnya pendidikan keuangan yang sistematis dan praktis. Akibatnya, banyak petani yang masih bergantung pada tengkulak atau lembaga keuangan informal berbunga tinggi karena mereka tidak memahami cara mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau produk perbankan lainnya secara optimal.

Kurangnya literasi keuangan di kalangan petani juga memperkuat siklus kemiskinan yang sulit diputus. Misalnya, banyak petani tidak menyisihkan dana cadangan atau investasi produktif dari hasil panen, sehingga ketika musim paceklik atau harga anjlok, mereka langsung jatuh dalam tekanan ekonomi. Bahkan, survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada 2021 menyebutkan bahwa lebih dari 60% petani di Jawa tidak memiliki tabungan produktif maupun dana darurat. Ini membuat mereka rentan terhadap praktik utang berbunga tinggi dan tekanan eksternal lain seperti gagal panen atau fluktuasi harga. Di sinilah pentingnya pendekatan holistik terhadap pendidikan keuangan bagi petani, bukan hanya dengan teori, tetapi dengan pendekatan praktis dan lokal yang sesuai konteks keseharian mereka.

Program literasi keuangan yang ditujukan bagi petani masih sangat terbatas dan cenderung belum terintegrasi dalam sistem pendampingan pertanian nasional. Beberapa upaya sebenarnya telah dilakukan, seperti pelatihan manajemen keuangan oleh OJK di wilayah Sumatera Barat dan Jawa Timur, serta dukungan dari sektor perbankan dalam bentuk penyuluhan KUR. Namun cakupannya masih parsial dan belum sistematis. Padahal sebagian besar negara berkembang telah menunjukkan bahwa intervensi literasi keuangan dapat secara signifikan meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Studi dari Bank Dunia pada tahun 2020 di Kenya dan Uganda menunjukkan bahwa petani yang mendapatkan pelatihan keuangan mengalami peningkatan efisiensi penggunaan input hingga 25% dan peningkatan laba bersih usaha hingga 30%. Ini membuktikan bahwa penguatan literasi keuangan bukan hanya berdampak pada pengetahuan, tetapi juga pada keputusan ekonomi strategis yang lebih cerdas.

Di Indonesia sendiri, potensi keuntungan dari peningkatan literasi keuangan amatlah besar jika dibandingkan dengan potensi ekonomi pertanian yang belum tergarap maksimal. Menurut Kementerian Pertanian, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia telah mencapai 12,4% pada tahun 2023, dengan didominasi usaha mikro dan kecil di dalamnya. Namun, dari sudut kelembagaan keuangan, tingkat inklusi keuangan petani masih rendah. Banyak di antara mereka belum memiliki rekening bank, asuransi tani, atau akses terhadap pembiayaan berbunga rendah. Inovasi seperti asuransi pertanian dan digitalisasi keuangan melalui aplikasi fintech pertanian seperti TaniFund, iGrow, hingga Crowde sebenarnya membuka peluang besar untuk meningkatkan akses keuangan petani. Namun, lagi-lagi hambatannya adalah pada literasi keuangan dan literasi digital yang belum memadai. Tanpa pemahaman terhadap risiko, bunga pinjaman, serta analisis kelayakan usaha, maka alih-alih terbantu, petani bisa masuk ke dalam jebakan utang digital yang baru.

Baik literasi keuangan juga merupakan kunci regenerasi pertanian di Indonesia. Anak-anak muda tidak mau turun ke sawah bukan karena beratnya kerja fisik semata, melainkan karena tidak melihat ada potensi ekonomi yang menjanjikan. Jika petani dapat menunjukkan kesuksesan pengelolaan hasil tani, tabungan produktif, dan perencanaan keuangan yang sehat, maka akan tumbuhlah keyakinan bahwa bertani dapat menjadi profesi yang berkelanjutan. Hal ini juga telah sejalan dengan misi pemerintah di program Petani Milenial yang diharapkan dapat mencapai lebih dari 2,5 juta petani muda pada tahun 2024. Sayangnya, program tersebut seringkali lebih mengedepankan teknologi alat dan mesin pertanian (alsintan), belum sepenuhnya mengedepankan pendidikan keuangan dan bisnis.

Penting pula untuk menyoroti bagaimana literasi keuangan bisa memperkuat posisi tawar petani di mata pasar dan lembaga keuangan. Petani yang mampu menyusun laporan keuangan usaha tani, mencatat pengeluaran dan pemasukan, serta mengidentifikasi margin keuntungan, akan lebih mudah menjalin kerja sama dengan koperasi, bank, atau mitra distribusi. Faktanya, beberapa petani yang telah menerapkan sistem keuangan yang rapi dapat menjual hasil panen mereka langsung ke ritel modern atau platform digital dengan harga lebih baik, karena mereka memiliki data dan perencanaan yang jelas. Salah satu contoh keberhasilan adalah kelompok tani di Sleman, Yogyakarta, yang melalui pendampingan literasi keuangan dan digitalisasi usaha oleh Bank Indonesia, mampu meningkatkan pendapatan hingga 40% dalam dua musim tanam.

Lebih jauh lagi, rendahnya literasi keuangan di kalangan petani tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan teknis, melainkan juga sebagai masalah struktural yang berakar dari minimnya perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam konteks budaya sosial pedesaan, praktik pengelolaan keuangan sering kali diwariskan secara turun-temurun tanpa adanya pembaruan pengetahuan yang relevan dengan tantangan zaman. Hal ini menyebabkan munculnya ketergantungan pada pola konsumsi musiman dan minimnya kebiasaan menabung atau berinvestasi. Oleh karena itu, peningkatan literasi keuangan tidak hanya relevan untuk mengatasi persoalan ekonomi mikro, tetapi juga menjadi upaya transformasi sosial yang dapat mengubah cara pandang petani terhadap masa depan usaha tani mereka. Ini penting agar petani tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sebagai pelaku ekonomi yang cerdas dan visioner.

Sebagai solusi nyata, pemerintah dan lembaga terkait perlu membentuk ekosistem literasi keuangan berbasis komunitas yang mengintegrasikan pelatihan, pendampingan, dan evaluasi berkelanjutan. Ini dapat dimulai dengan membentuk “Kader Keuangan Tani” di setiap kelompok tani, yaitu para petani terlatih yang bertugas membantu anggota kelompok dalam pencatatan keuangan, pengajuan kredit, hingga analisis sederhana biaya dan keuntungan. Selain itu, pengembangan aplikasi digital pencatatan keuangan berbasis lokal—dengan antarmuka sederhana dan dalam bahasa daerah—juga bisa menjadi alat bantu efektif. Sementara di tingkat kelembagaan, kolaborasi antara Kementerian Pertanian, OJK, dan BUMDes dapat menghadirkan sistem keuangan desa yang transparan dan inklusif. Dengan demikian, literasi keuangan tidak berhenti di ruang kelas atau seminar, melainkan benar-benar hidup dalam praktik sehari-hari petani.(*).

 

Berita Terkait

LAKI Desak Polda Sulut Tertibkan Tambang Ilegal di Molobog
Wartawan Senior Erwien Bojoh Tutup Usia, Wabup Minahasa Sampaikan Belasungkawa  
Kejari Banggai Terima Tersangka AA dan Barang Bukti Tahap II Kasus Korupsi Dana Penyertaan Modal PDAM
HUT ke 65 Banggai Bupati Amirudin Ajak Masyarakat Teladani Semangat Pendahulu dan Jaga Kebersamaan
Bupati Banggai Amirudin Pimpin Rapat HLM TPID TP2DD Perkuat Pengendalian Inflasi Digitalisasi Pembayaran
Polres Bolmong Selidiki Info Dugaan Warga Tewas di Tambang Ilegal Oboy Pusian
Tim GabunganTertibkan Kegiatan PETI di Sungai Totabuan Bolmong
Dukung Pendidikan Digital, Bupati Amirudin Serahkan 37 Laptop dari CSR JOB Tomori di HUT Banggai ke-65

Berita Terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 11:05 WITA

LAKI Desak Polda Sulut Tertibkan Tambang Ilegal di Molobog

Rabu, 9 Juli 2025 - 20:35 WITA

Wartawan Senior Erwien Bojoh Tutup Usia, Wabup Minahasa Sampaikan Belasungkawa  

Rabu, 9 Juli 2025 - 19:10 WITA

Kejari Banggai Terima Tersangka AA dan Barang Bukti Tahap II Kasus Korupsi Dana Penyertaan Modal PDAM

Rabu, 9 Juli 2025 - 16:59 WITA

HUT ke 65 Banggai Bupati Amirudin Ajak Masyarakat Teladani Semangat Pendahulu dan Jaga Kebersamaan

Rabu, 9 Juli 2025 - 15:45 WITA

Bupati Banggai Amirudin Pimpin Rapat HLM TPID TP2DD Perkuat Pengendalian Inflasi Digitalisasi Pembayaran

Berita Terbaru

Hukum & Kriminal

LAKI Desak Polda Sulut Tertibkan Tambang Ilegal di Molobog

Kamis, 10 Jul 2025 - 11:05 WITA